Featured Post Today
print this page
Latest Post

Keutamaan Sholat Berjamaah di Masjid

Assalamu'alaikum......alhamdulillah tulisan pertama tentang Keimanan dan Ketaqwaan bisa selesai walo masih kurang sana-sini, hihihi. Hal pertama yang ingin aku tulis sesuai dengan judul diatas yaitu "Keutamaan Sholat Berjamaah di Masjid"

Pasti sering denger kan hadits yang mengatakan bahwa shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian.. Nah, selain kelipatan pahalanya, ternyata sholat berjamaah di masjid itu mempunyai keutamaan yang luar biasa. Diantaranya nih :

1. Dihapus dosa-dosanya

 sebagaimana Sabda Nabi 
    dari ‘Utsmaan bin ‘Affaan dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلَّاهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ    اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ


“Barangsiapa berwudhu untuk shalat dan menyempurnakan wudhunya, kemudian ia berangkat untuk shalat wajib dan ia mengerjakannya bersama manusia atau bersama jamaah, atau shalat di masjid, Allah mengampuni dosa-dosanya.”
(Shahiih an Nasaa-iy; dishahiihkan oleh syaikh al-albaniy)

2. Diangkat derajat, serta dihapuskan dosa dengan langkah kaki ke masjid

Rasulullaah SAW bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ
Jika seseorang berwudhu, kemudian menyempurnakan wudhunya; kemudian pergi ke masjid dengan tujuan untuk shalat, tiap ia melangkah satu langkah maka diangkatkan baginya satu derajat dan dihapuskan satu dosanya, sampai ia masuk masjid
(HR Muslim)

dalam Hadits yang lain disebutkan :

‎مَنْ رَاحَ إِلَى مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ فَخَطْوَةٌ تَمْحُو سَيِّئَةً وَخَطْوَةٌ تُكْتَبُ لَهُ حَسَنَةٌ ذَاهِبًاوَرَاجِعًا

Barangsiapa berangkat ke masjid, maka satu langkah menghapus satu keburukan, dan satu langkah ditulis satu kebaikan, di saat pergi dan pulang.
(HR. Ahmad dari Abdulloh bin Amr bin Al-Ash, dishohihkan syaikh Ahmad Syakir)

setiap kaki kita melangkah, satu langkah kaki menghapus dosa, satu langkah kaki lagi mengangkat derajat kita. begitu seterusnya dari kita berangkat ke masjid dan juga pulang dari masjid. jadi, enakan ke masjid jalan kaki kan...apalagi jalannya muter, dijamin dec capek (hehe kidding) biar dosa kita semakin banyak yang diampuni Allah maksudnya.

3. Mendapat cahaya yang sempurna di hari kiamat

Rasulullah SAW bersabda:

 لِيَبْشَرْ الْمَشَّاءُونَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِنُورٍ تَامٍّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Hendaklah orang-orang yang berjalan kaki dalam kegelapan (yaitu shalat ‘isya dan shalat shubuh) menuju masjid berbahagia dengan cahaya sempurna pada hari kiamat.”
(Shahiih HR, Ibnu Maajah, dishahiihkan oleh syaikh al-Albaaniy dalam shahiih ibn maajah)

4.  Mendapat naungan dari Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ …

“Tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (kiamat) yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, ….” (Muttafaqun alaihi)

5.  Dihitung shalat sejak berangkat ke mesjid, hingga kembali ke rumah

dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ خَرَجَ يُرِيدُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ فَلَا تَقُولُوا هَكَذَا يَعْنِي يُشَبِّكُ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Barangsiapa berwudlu kemudian keluar (ke masjid) untuk melaksanakan shalat, maka ia (dihitung seperti orang) shalat hingga ia kembali ke rumahnya. Maka janganlah kalian melakukan demikian, yaitu menjalin jari-jari.”
(HR. Bukhariy)

6. Mendapat balasan seperti haji


Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الحاَجِّ المُحْرِمِ

“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan berwudhu’ untuk shalat lima waktu (secara berjama’ah di masjid), maka pahalanya seperti pahala orang berhaji yang memakai kain ihram.”
(HR. Abu Dawud no. 554, dan di hasankan oleh Asy Syaikh Al Albani)

poin 1 - 6 diambil dari Web Abu Zuhriy dan dari Darussalaf.or.id (syukron atas pengetahuannya)
Nah untuk kelengkapan keutamaan sholat berjamaah yang lain sobat bisa baca di sana.

7. Bisa sholat lebih khusyu'

Kalo ini dari saya pribadi nic, yang jelas kalo sholat sendirian sholatnya berantakan, gak khusyu', denger suara motor lewat, suara orang ngobrol, belom lagi kadang lupa ma raka'at sholat hikz astaghfirullah.

8.  bisa sholat tepat waktu.

Dalam riwayat dijelaskan, Utsman bin ‘Affan RA berkata, “Barang siapa selalu mengerjakan shalat lima waktu tepat pada waktu utamanya, maka Allah akan memuliakannya dengan sembilan macam kemuliaan, yakni dicintai Allah, badannya selalu sehat, keberadaannya selalu dijaga malaikat, rumahnya diberkahi, wajahnya menampakkan jati diri orang shalih, hatinya dilunakkan oleh Allah, ...
.. dia akan menyeberang Shirath (jembatan di atas neraka) seperti kilat, dia akan diselamatkan Allah dari api neraka, dan Allah Akan menempatkannya di surga kelak bertetangga dengan orang-orang yang tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidak pula bersedih hati.”

9. Bisa dzikiiiiiirr..... eits bukan berarti kl sholat sendiri gak bisa dzikir ya... bisa, tapi pasti beda kan kl dzikirnya berjama'ah (bareng imam) di Masjid, dzikirnya bisa lebih khusyu', lebih banyak / lama. kl sholat sendirian di rumah, pengennya abis salam pengen cepet2 kaburrr (hehe bener pa bener.........???) InsyaAllah Bab (ciiee) yang berikutnya akan kita bahas tentang "Pentingnya Dzikir Ssetelah Sholat" 

10.  Dimuliakan oleh Rasululah
  
Rasulullah sangat memuliakan kepada mereka yang memelihara masjid, hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah sbb:

أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَقُمًّ الْمَسْجِدَ تَكْنِسُهُ فَمَاتَتْ فَسْأَلَ عَنْهَا النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيْلَ لَهُ مَاتَتْ، فَقَالَ : اَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُوْنِى بِهَا َلأُصَلِّى عَلَيْهَا دَلُوْنِى عَلَى قَبْرِهَا فَاَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا.

“Ada seorang wanita yang senantiasa menyapu masjid, kemudian mati, Nabi Saw lalu menanyakan tentang wanita itu, dijawab bahwa dia telah mati. Nabi bersabda, ‘mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku, agar aku menshalatkannya? Tunjukan kuburannya kepadaku, maka beliau mendatangi kuburannya, lalu menshalatkannya. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah).

Nah, begitu banyak kemurahan dan kemudahan yang Allah berikan untuk hambanya yang mau sholat berjama'ah di Masjid, jadi sayang kan kalo kita sebagai Umat Nabi Muhammad tidak menyambutnya.

Pasti ada  pertanyaan, kalo wanita kan lebih utama sholat di rumah ? itu betul, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.” Tapi kan tidak dilarang oleh Rosulullah. Wanita diutamakan sholat di rumah itu kalo dia di rumah juga berjamaah bersama anggota keluarga lain (misal : anak, ibu, pembantu, dll). Jadi kalo wanita sholat sendirian di rumah ya sebaiknya ikut jamaah saja di masjid kan banyak keutamaanya seperti yang dibahas diatas (mendapat kelipatan pahala, dihapus dosanya, diangkat derajadnya,bisa sholat + dzikir lebih khusyuk, dan keutamaan yang lainnya).

Tapi, tunggu dulu ya....tentu wanita yang mau berjamaah di Masjid harus memenuhi aturannya : diantaranya berpakaian yang sopan dan menutup aurot, tidak berdandan menor / berlebihan agar tidak menimbulkan fitnah, tidak memakai wangi-wangian, dan tidak bercampur dengan jamaah laki-laki.

Ok Sob, yuuk mari kita ramaikan (makmurkan) Masjid, karena orang yang memakmurkan Masjid akan dimuliakan oleh Rosulullah dan juga termasuk dalam golongan diantara 7 golongan yang akan mendapatkan perlindungan Allah pada saat tidak ada perlindungan selain perlindunganNya (Nah kalo tentang kemuliaan bagi yang memakmurkan masjid bisa dibaca di LestariMasjid.com.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Dagangan Boneka Murah

Berbagai macam boneka, untuk info / bagi yang berminat bisa di 085 327 63 3434 / pin : 2a3c7e15

 Bantal Rainbow Rp 45 rb
 Bantal Pisang Rp 45 rb
 Bantal Kaki Rp 50 rb


















  Panda Super Jumbo Rp 180 rb (free ongkir)

Kata-kata Penghibur buat yang lagi Patah Hati


Hayo sp yg lagi patah hatiii....????? #ikutan ngacung hikz
ada sedikit kata-kata hiburan buat yg lagi patah hati, semoga bermanfaat dan bisa memberikan sedikit hiburan. amiin.
(aslinya sic browsing buat menghibur diri sendiri) upz ketuan dec kl lagi patah hati hehehe

"sesuatu yang telah ditakdirkan untukku, pasti akan aku dapat meskipun aku lari darinya. dan sesuatu yang ditakdirkan bukan untukku, pasti aku tidak akan dapat walau aku bersusah payah untuk mendapatkannya"
-Abu Hazim Al Makki-Aulia- (itulah TAQDIR Tuhan, dan percayalah pada taqdir-Nya)

“Kadangkala hati itu perlu kosong, sebelum dapat diisi dengan rahmat Allah. Berbahagialah kepada mereka yang hatinya terasa kosong, karena Allah sedang membersihkan hatimu” (hiburan, hehehe biasanya kl lg sedih hatinya kayak kosong kaaaaannnn)

“Ketika Tuhan menginginkan dua hati bertemu, Dia akan menggerakkan keduanya, tidak hanya salah satu”

“yakinlah, Tuhan hanya tetapkan yang terbaik untuk hamba-Nya”

"Allah, memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan" kl ini kata-kata dari sohib baekku ku elpot biar aku bisa pasrah katanya hehe mksh ya elp..

hayoooo sp mau nambahin / mau curhat.......silahkan-silahkan.....

yuukkk, Prediksi Kesehatan dari Warna Urine

Kita bisa memprediksi kondisi kesehatan kita pada saat tertentu lewat warna urine kita saat itu. Warna urine kita jadikan acuan tindakan apa yang harus kita ambil selanjutnya. Marilah kita kenali warna urine dan prediksi kesehatan berdaasarkan warna urine tersebut.

kuning:
Urine sehat itu berwarna kuning pucat atau kuning gelap, tergantung pada tingkat hidrasi, sehingga jika warna urine Anda tetap berada di koridor warna kuning, Anda bisa bernapas lega karena urine Anda sehat.

Hijau:
Beberapa obat antiseptik dan anestesi memberikan warna semburat hijau pada urine. Jadi bila urine Anda berwarna hijau tidak usah terlalu khawatir.

Orange:
Ini adalah tanda disfungsi hati. Jika urine Anda berwarna seperti ini biasanya dibarengi dengan tinja yang berwarna putih, bisa jadi ini karena ikterus obstruktif. Jadi segera ambil tindakan bila urine Anda berwarna orange.

Cokelat:
Urine cokelat menampakkan ada masalah ginjal. Ini bisa menjadi tanda penyakit ginjal yang serius. Keadaan ini biasanya karena ada kebocoran usus ke kandung kemih Anda. Segera lari ke dokter Anda untuk kasus ini.

Merah:
Ini benar-benar buruk. Merah berarti ada darah dalam urine Anda, dapat mengartikan pendarahan atau kanker. Pada orang yang berusia lebih dari 40 tahun hipotesis pertama adalah kanker kandung kemih. Segera hubungi dokter dan lakukan deteksi dengan cepat.

sumber : http://my1951.com/others/science-and-technology/prediksi-kesehatan-dari-warna-urine

Setelah Kau Menikahiku (Bagian Akhir - TAMAT)

Cerita sebelumnya :
Bagian I
Bagian II
Bagian III

Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.

“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”

“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi… Entahlah.”

“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”

“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.

“Jadi, bicaralah dengan Idan.”

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.

Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.

Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.

“Ada apa?”

“Sst!”

Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya.

Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar… mawar putih?

“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.

Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benarsumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.

“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatap

ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”

Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya.

Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku.

Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi.

Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku

sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.

“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idan membuyarkan renunganku. “Ada apa?”

Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang.”

Dahinya berkerut. “Pram?”

“Pacarku yang pergi ke Jerman.”

“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”

“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.

“Dia sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.

Aku menggeleng.

“Lalu?”

“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai.”

“Oh.”

Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin ia mencintaimu?”

Aku mengangguk.

“Kau yakin akan bahagia dengannya?”

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut bahagia.”

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.

Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.

“Dan?” tegurku.

“Ya?”

“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku.”

Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku. “Pit, bangun!”

“Ada apa?” gumamku . Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.

“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”

Aku terlonjak duduk. “Apa?”

“ Ganti baju,” perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.

Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan.”

“ Baru saja.”

“Di?”

“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”

“Idan ….”

Ia membanting pintu kamar di depanku.

Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.

“Dan, aku sudah siap.”

Tidak ada jawaban.

Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis.

Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.

Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.
“Pit, bawa Idan pulang.”

“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”

Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke halaman belakang. Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.

“Aku mau pulang, Dan, ” ujarku sambil memegang tangannya.

Ia menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja.”

“Aku tidak mau sendirian di rumah.”

Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik, ” Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.”

Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?

Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.

“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”

“Nanti saja. Aku tidak lapar.”

“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”

Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.

“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”

Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu. Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.

“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka ….”

“Aku tahu. Tidak apa-apa ,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.”

Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.

“Terima kasih.”

“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”

“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” ia tersenyum nakal.

“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.

“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. ”

Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku yang mesti berterima kasih kepadamu.”

“Untuk apa?”

“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu.”

Idan tersenyum kecil. “ Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih.”

“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.”

Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.

“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini ,” katanya.

“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang pal ing jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku un tuk menikah, karena tidak ada calon yang pas, dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah.”

“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik lebih serius.

Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhirnya. “Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama.” Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.

“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”

“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi.”

Aku tertegun. “Apa maksudmu?”

Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat.”

Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.

“ Aku masih belum mengerti,” bisikku.

“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”

“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.

“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”

“Kau … kau tidak pernah ….”

“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”

“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa dengan caramu sendiri.”

Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya.

Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.

“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.

Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”

Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.”

Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”

Lama kami berdua saling berpandangan.

“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.

dan akhirnyaa.........

“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini.”

“Berapa lama?”

“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”

“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.”

“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku.”

“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?” Aku menghela napas panjang. “Entahlah, Pram, ” bisikku.

“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.

“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita.”

“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”

“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”

“Tapi kau tidak bahagia!”

“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia.”

“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini.”

“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”

“Ita, kau tidak mencintainya!”

“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”

“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?”

“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”

“Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”

“Idan mengajariku tentang cinta.”

“Hanya karena itu?”

“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”

“Ita ….”

“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya,

atau mungkin lebih bahagia lagi.”

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

“Upit.”

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

“Aku tak bisa melihatmu begini ,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?”

Aku mengangguk.

“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.” Aku mengangguk.

“Kau akan menyesal.” Aku mengangguk.

“Kau akan sedih, kecewa ….” Aku mengangguk.

“Kau tidak mencintaiku.” Aku menggeleng.

Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan. “Idan!”

- TAMAT dec -

Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003


Ada puisi nih dari seorang sahabat
baca deh lembar terakhir ini
Salam,

Ku tahu sebaik apapun ku berusaha
Ku hanya manusia biasa
Yang penuh lupa dan dosa
Tapi pada-Mu ya Rabb ku pinta
Siapapun bidadari yg kau siapkan untukku
Semoga ku bisa menjadi yang terbaik baginya
Karena ku tahu ya Rabb ku
Dialah yang terbaik untukku
Dan semoga ya Rabb
Semoga Dalam naungan cinta-Mu
Kita dapat bersama
Dan selalu saling mengingatkan

Untuk sebuah cinta suci mulia
Agar dapat kembali bersua,
Di surga-Mu

yooooo hikmah apa yg bisa diambil teman2 ?????????
baca juga "Kisah Perjalanan Cinta yang Mengharukan"

Setelah Kau Menikahiku (Bagian III)

Cerita sebelumnya :
Bagian I
Bagian II

Pram berjanji akan membahagiakan Puspita. Tapi sayang semuanya sudah terlambat. Dia sudah menikah, sekalipun hanya simulasi.
- gak suka bagian ini :(  dibaca aja dec.....

Setelah Kau Menikahiku (Bagian III)

Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil beri si teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.

Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi seru mpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.

Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. “Kau datang.”

“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapa pun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.

“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya.

“Kau masih ingat.”

“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.

“Kapan kau pulang?”

“Tadi pagi.”

“Dengan anak istrimu?”

Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”

Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.

“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,” senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu.”

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.

“Kau sendiri bagaimana, Ta?”

“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?

“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. “Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”

“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan “ya ”? Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa?

Ia menggeleng. “Aku hanya memintamu memilih.”

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, ”Kau sudah menikah?”

Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup . “Siapa?” tanyanya lirih.

“Idan,” jawabku kaku.

“Idan? Irdansyah temanmu?”

“Sahabatku.”

“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?”

Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.

Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.

“Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku se ndiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, dibenakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”

Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku terkesima.

“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.

“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.”

“Kau suka?”

Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. “ Kau…. Sebetulnya kau tidak perlu repot repot…,” suaraku keluar dengan susah payah.

“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak mengingatmu,” ia tertawa kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.”

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia? Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak.

Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri. Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,” katanya dengan mata berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik….”

Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. “Maaf,” katanya sejenak kemudian.

“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.

“Baiklah. Mau kuantar?”

“Aku ada mobil.”

Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.”

Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya.

Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup.

“Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak punya banyak teman di sini.”

“ Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.

Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnya ia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.”

Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapanpun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya?

Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian. disana tertulis "Aku memikirkanmu"
Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.

Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai?

Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.

Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat kantorku.”

“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.”

Dan esok harinya kuhabis kan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba bertanya.

“Kenapa kau menikah dengan Idan?”

“Kenapa kau bertanya?”

“Seingatku, ia bukan tipemu.” Aku tertunduk.

“Kenapa, Ita?”

“Idan mencintaiku ,” bisikku pelan.

“Apa kau mencintainya.”

Kebisuanku memberinya jawaban.

“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”

“Jangan berbohong.”

“Idan suami yang baik.”

“Tapi apa kau bahagia?”

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?

“Berapa lama kau menikah dengan Idan?”

“Setahun.”

“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena
terpaksa? Karena usia dan….”

“Stop.”

Aku bangkit dan meninggalkannya.

Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?

Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.

“Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan. “Ada apa?”

“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan.”

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.

“Idan.”

“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”

“Aku …. Kau tahu …, ” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku --walaupun hanya simulasi --bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.

“Ya?” desak Idan.

“Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?”

“Sekretarismu? Tentu.”

“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”

“Lalu?”

“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”

“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”

“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.”

“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”

Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab.”

“Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana, “Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.

“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idan kembali di telepon.

“Karena kau yang membuatkan kopi?”

“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.”

“…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?”

“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.”

“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.”

“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”

“Keadaan.”

“Maksudnya?”

“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”

“Astaga. Kasihan sekali.”

“Jadi bagaimana?”

Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”

“Lantas aku mesti bilang apa?”

“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”

“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.

“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang.”

“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”

“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”

Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.”

“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. “Iya, Pak, sebentar. Istri saya ….”

Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.

Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku ras anya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.

“Kenapa? Idan melarangmu?”

“Dia tidak tahu apa-apa.”

“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?”

Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.

“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”

“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.

“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali
denganku.”

“Aku tidak bisa ….”

“Kenapa tidak?”

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?

“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain.”

“Aku ….”

“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”

Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan mataku.

“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.

“Lebih keras lagi.”

“Aku tidak mencintaimu!”

“Kau berbohong.”

Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”

“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia”

ku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan?


Bersambung ke Bagian Akhir
kira-kira, apa keputusan yang akan diambil Ita ???? silahkan baca di Setelah Kau Menikahiku (Bagian Akhir - TAMAT)

Setelah Kau Menikahiku (Bagian II)

Cerita sebelumnya :
Bagian I

Sebulan pertama Upit berusaha mengerti kebiasaan Idan menghabiskan akhir pekan dengan memancing. Di minggu kelima dia protes, dan mereka bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.
(bagian yg paling ak suka, hehehe penasaraaaaan??? silahkan dibaca)

Setelah Kau Menikahiku (Bagian II)

Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan —simulasi— kulewatkan dirumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.

Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.

“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.”

Ku cicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”

“Pramuka,” komentar Idan ter senyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit.”

“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”

Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi.”

“Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu.”

“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.”

“Jadi?”


Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?” pintanya.“Aku punya rice cooker.”

Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya. “Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”

Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.

“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya. “Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,” lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”

Dahiku berkerut. “Untuk apa?”

“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”

Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”

“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”

“Kau kedengaran seperti diktator.”

“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”

“Itu terlalu banyak untukku.”

Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.

“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu.”

Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu” desisnya kemudian.

Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya.

Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemui ku di ruang makan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin.

Aku bangkit dari meja menghampirinya , berniat untuk memperbaiki situasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.”

Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Dasar tidak tahu terima kasih! (rutukku dalam hati)

ku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaan pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.

Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.

Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keangkuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah marah dulu.

langkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?

Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku , kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.

Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!

Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.

Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat receiver.

“Upit?”

“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”

“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?”

“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku. “Kau di mana?”

“Di luar.”

“Di luar rumah?”

“Ya. Dan aku lapar.”

“Oh, Tuhan….” Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah sudah berapa lama ia di sana.

“Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!” teriakku kepadanya.

“Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.

“Di mana saja kau dua hari ini?”


“Di hotel kecil dekat kantor.”

Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.

“Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?” suaraku bergetar.

“Aku perlu baju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”

Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung, ”Selain itu , aku khawatir karena kau sendirian di sini.” Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.

“Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. “Aku harus lembur. Dikejar deadline.”

Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku.

“Oke,” katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?”

“Asal kau sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.

Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.

Setelah beberapa minggu pernikahan mereka.................

Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action —genre yang paling tidak kuminati, dan sepak bola—olahraga yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa kulakukan.

Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara makan-ma kan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku dengan sangat cepat akan mera sa jemu.

Sebulan pertama aku berusaha mengerti . Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima kesabaran kutandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing.

“Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku.

“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.

“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”

“Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.”

“Kau bisa mencobanya minggu depan.”

“Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini” ia tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Aku bisa memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!”

“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.

“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat. “Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu cukup?”

“Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”

“Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu.”

“Oh, Tuhan!”

Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan dipinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.”

“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan.”

“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.”

“Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman.”

“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.”

“Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”

Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”

“Ya!”

“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.”

“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!”

Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya.

“Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.”

“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku , apa kau tidak bisa memberiku…....”

“Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!”

“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti dan Flamingo.…”

“Placido Dom ingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan satu bola kulit!”

“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!”

“Kau kekanak-kanakan!”

“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!”

Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku.

Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya?Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah —simulasi— dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku ? Tidak!

Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.

Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.

“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,” katanya.

“Aku tidak mau pergi ke mal.”

“Kau bilang tadi pagi….”

“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat.”

“Upit, kalau kita tidak pergi se karang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat….”

“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau.”

“Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya. “Ayo!”

“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!”

Wajah Idan benar-benar merah sekarang. “Upit! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi.”

“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi”

“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar..….”

“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan.

Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.

Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor. Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang terkuak.

“Apa-apaan ini, Pit? ” tanyanya.

“Aku pulang ke rumah Ibu.”

Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah ini kau menyerah?”

“Ini di luar dugaanku.”

“Apa?”

“Aku tidak mengira aku menikahi monster.” Idan terdiam, menunduk.

“Aku…,” katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”

“Aku sudah terlalu gemuk.” Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, ”Tidak. Kau cantik.”

“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa.”

“Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.”

“Kau gagal.”

“Setidaknya aku mencoba. Kau … kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil….”

“Simulasi.”

Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi.”

“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu.”

Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.

“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.

“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”

Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup saat aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada dibenakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya , air mataku larut dalam siraman hujan.

Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.

“Ayo pulang,” katanya.

Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.

Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.

“Ganti bajumu,” katanya.

“Semua bajuku di dalam kopor.”

“Ambil bajuku.”

“Tidak akan pernah!”

Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar,”Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”

“Monster,” desisku.

Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setelah itu semuanya kabur.

Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.

Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.

“Ibu.”

Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku.“Bagaimana? Sudah enakan?”

“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.

“ Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”

Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.

“Ibu sudah berapa lama di sini?”

“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”

Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.

Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya. “Bagaimana, Bu?” tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.

“Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”

Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.

“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”

Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capai?”

“Saya pakai baterai Energizer, Bu.”

Ibu tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”

Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!

“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”

Alangkah klisenya!

Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”

“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”

“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”

“Ya, Bu.”

“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”

“Baik, Bu.”

Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.

Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.

Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat. Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya ku cuil sedikit. Pijatannya di kakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai mengangguk terlelap.

Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi, ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah . Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran dan kelelahan di matanya yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.

Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa
malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?

Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?

Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis karena terharu.

“Kau tidak ke kantor? ” tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.

“Ini hari Minggu, Pit.”

“Aku sudah sakit selama seminggu ?” bisikku tak percaya.

“Ya,” Idan tersenyum. “ Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”

“Ibuku kan di sini.”

“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”

Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”

Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas. “Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan.”

Aku tersenyum.

“Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.

“Kau mau pergi memancing nanti sore?”

Ia menggeleng lagi.

“Kenapa?”

“Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah.”

“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya.”

“ Terima kasih untuk apa?”

Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, ”Karena meminjamkanmu untukku hari ini.”

Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?”

Aku mengangguk dengan leher tersumbat.

“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya kemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu asin.”

Setelah kejadian itu berlalu..................

“Selamat ulang tahun, Pit.”

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!”

“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”

Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.

Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku. Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng

dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.

“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.

“Apa?”

“Hadiahku.”

Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.

“Kau tidak menemukannya?” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.

Aku menggeleng.

“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.

“Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”

Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapadetik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa. “Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”

“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.

Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup sel ofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.

Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.

Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.

Mungkinkah?

Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman temanku yang tak kenal ampun. Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman temanku yang tak kenal ampun.

Adakah yang bisa menebak kiriman dari siapakah mawar putih tersebut ??? ditunggu ya....
Bersambung ke Bagian III

Bagian IV / akhir
 
Support : Creating Website | OPPOEST | Aik Aisah
Copyright © 2011. ais home - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Aik Aisah
Proudly powered by Blogger